ALGAE MAN
Initiatif Photography Project
Karya: Mika Evangelista
Banyak dari kita merasa pandemi COVID-19 memperlambat emisi karbon dioksida (CO2) dan pemanasan global, padahal kenyataannya berbanding terbalik. Tidak ada tanda-tanda dunia kita akan tumbuh kembali menjadi lebih hijau. Emisi karbon dioksida dengan cepat pulih setelah stop sementara pada 2020 lalu karena perlambatan ekonomi, dan sekarang sudah jauh dari target pengurangannya (menurut laporan multi-agency baru, United in Science). 1 Solusi yang biasanya dikemukakan masyarakat adalah melakukan penanaman, seperti penanaman pohon dan bakau. Namun penanaman pohon juga memerlukan banyak air, dan tidak sedikit orang yang melakukan overwatering. Tidak hanya banyak air yang ‘terbuang’, pohon yang disirami berlebihan pun bisa mati, karena akar pohon menerima terlalu banyak air dan kekurangan oksigen, sehingga akar bisa busuk dan mematikan pohon. 2 Lalu jika pohon bukanlah solusi paling tepat, apakah bakau menjadi penyelamat kita dari CO2? Bakau sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar: mampu menyerap lebih banyak karbon daripada hutan hujan. Satu mil persegi hutan bakau dapat menampung jumlah karbon yang sama dengan emisi 90.000 mobil (sumber: IPCC/IPBES). 3 Namun, apakah orang-orang akan tertarik dalam mengampanyekan tanaman air asin yang sulit mereka jangkau (di beberapa pesisir saja)? Jika pohon dan bakau bukanlah solusi penanaman yang tepat, lalu apakah ada tanaman yang hemat air, mudah diakses, dan bahkan digemari oleh masyarakat? Ada! Dan tanaman ini adalah ganggang (algae). Ganggang adalah tanaman air yang dapat digunakan untuk melawan perubahan iklim karena menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer kita, menyimpannya sebagai biomassa, dan menggantinya dengan oksigen. 4 1 hektar ganggang dapat menyerap 2,7 ton CO2 per hari. Ganggang juga sangat mudah tumbuh di air, dan membutuhkan air yang lebih sedikit dibanding tanaman darat. Ganggang memiliki banyak byproducts; bisa digunakan untuk: bahan bakar, energi, fiber karbon, snacks, kosmetik, bahan pengganti plastik, dll. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pengangkatan tema ‘salad ganggang’ sudah melalui pertimbangan emisi CO2 yang terus meningkat setelah mengalami ‘stop’ sesaat karena perlambatan ekonomi pada 2020 lalu. Pertimbangan lain adalah karena opsi kampanye reboisasi yang lain kurang efisien: pohon memakan terlalu banyak air, dan bakau kurang diminati karena susah diakses serta kurang relevan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Saya memilih produk ganggang berupa salad karena 2 alasan. Alasan pertama adalah karena ganggang makanan yang penuh asam lemak dan antioksidan (dilansir dari laporan future 50 food). Alasan kedua adalah karena selain isu emisi karbon dioksida, bumi ini akan menghadapi isu kelaparan global di masa depan karena overpopulation. Ganggang adalah tanaman yang mudah untuk tumbuh dimanapun dan memerlukan sedikit air, jadi produksi ganggang secara massal bukanlah masalah. Solusi salad ganggang ini bisa diibaratkan peribahasa “sambil menyelam minum air” karena bisa digunakan untuk menghadapi 2 masalah global sekaligus.
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...