Bermain Cahaya Setelah Merekam Cahaya
Fotografi sangat identik dengan perekaman cahaya yang memantul dari sebuah obyek. Proses terjadinya perekaman tersebut di namai exposure. Mutlak dalam fotografi selalu melibatkan tiga unsur yaitu; cahaya, obyek dan kamera. Tanpa salah satunya maka proses yang dinamai fotografi menjadi tidak sah. Bayangkan kalau kita hanya memiliki kamera dan oyek tanpa adanya cahaya, maka proses perekaman foto menjadi gelap gulita, begitu juga sebaliknya. Melihat asal mula penggunaan kata fotografi sendiri bertumpu pada cahaya sebagai subyeknya. Fotos dan grafos yang berarti melukis dengan cahaya, menjadi penanda di gunakan istilah tersebut sampai sekarang, yang terkait dengan kamera (alat penangkap cahaya).
Sejarah panjang ditemukannya alat perekam cahaya atau yang lebih dikenal dengan kamera, konsentrasi pengembangan dalam teknik pemotretan masih berkutat di area alat itu sendiri. Kamera dalam fotografi terkadang menjadi subyek yang dikultuskan oleh mereka yang tekun menggeluti fotografi. Kedekatan fotografi dengan sebuah fakta sejarah, menjadikannya bagian penting dalam penyampai kebenaran visual. Fotografi telah mampu memecahkan permasalahan reproduksi kejadian yang siap diulang setiap saat. Seakan semua tampak benderang ketika fotografi dijadikan alat bukti yang sahih tanpa bisa dibantah. Sesuatu yang terjadi pada waktu itu tergambar secara realis tanpa distorsi visual, sebagai mana proses yang dilakukan sebelumnya dengan menggunakan gambar atau lukisan. Kondisi yang mengejutkan terjadi ketika fotografi dijadikan alat propaganda politik dan industri. Sebuah kepentingan besar menjadi ruh dalam penyampaian pesan foto untuk golongan tertentu. Lebih gilanya lagi ternyata banyak terungkap foto-foto heroik yang memiliki nilai sejarah sengaja diciptakan, direkayasa sehingga fakta menjadi kehilangan arti. Foto telah berubah wujud, tidak lagi sebagai pengemban kebenaran fakta visual.
Rekayasa visual diluar kepentingan kamera sangat terasa ketika, fotografi mulai diadopsi kedalam ranah seni rupa. Pengembangan media atas kemungkinan hasil akhir sebuah foto, menjadi pergulatan sengit ditangan perupa murni. Ideologi individu merangsek kedalam ruh foto yang dihasilkan. Kegilaan untuk menjadikan fotografi sebagai wahana baru dalam berkesenian visual berlanjut dengan gerbong yang tidak lagi terpaku dengan kaidah baku dalam proses fotografi. Kita kenal salah satu nama yang sangat populer yaitu Gustav L’Gray, salah seorang perupa yang mencoba memasukkan fotografi kedalam ranah seni rupa murni pada masa awal di temukannya kamera.
Fotografi digital, menjadi babak baru di penghujung milenium kedua ini. Perdebatan yang terkait dengan kaidah teknik maupun filosofis dalam fotografi menjadi ajang yang lazim dalam sebuah perbincangan. Proses digital yang memberikan kemungkinan pengambilan gambar dan ekplorasi pengolahan sesudahnya. Istilah Photoshoper muncul memberi penekanan kepada mereka yang sekan tidak intens terhadap fotografi itu sediri. Berjalannya waktu, proses pengolahan gambar setelah pengambilan foto menjadi hak setiap fotografer untuk dapat menyajikan foto yang layak pubilsh.
Cahaya yang merupakan aspek utama dalam fotografi menjadi kajian menarik ketika ia tidak dipandang ladi sebagai obyek riil dalam pengambilan gambar. Yang menjadi menarik ketika duplikasi cahaya kedalam ranah digital mungkin dilakukan, maka ia memiliki aspek ganda (prima dan komplemen). Gejala proses pencahayan ganda dalam sebuah proses penyajian karya foto untuk saat ini mudah sekali kita jumpai. Dan begitulah fotografi akan selalu bergerak dan berevolusi sesuai dengan nilai serap zaman.
Proses 1 (Penggunaan cahaya dalam proses pemotretan) Foto:Lateevhaq
Proses 2 (Penggunaan cahaya setelah proses pemotretan itu sendiri) Foto:Lateevhaq
Published at :