Seven Dreams CA Photography Exhibition
Upaya menggapai mimpi, meretas kode kreatif dalam lantunan gestur pemindai visual. Bersama cahaya, mengurai lorong gelap kreativitas.
“Nice compo”, “Good Concept” dan masih banyak lagi komentar sering kita temukan disebuah foto yang diunggah seseorang melalui Jejaring Sosial. Munculnya Jejaring Sosial yang mengakomodir Para Pecinta Foto ( fotografer.net, shutterspace.com, ayofoto.com dll ) maupun Jejaring Sosial umum dengan fasilitas unggah foto ( facebook.com, twitter.com dll ), meningkatkan pola komunikasi kuratorial dengan sistim dan struktur baru. Masyarakat dipacu menjadi “konsumen” aktif Media Jejaring Sosial. Realitas maya mampu membenamkan pola komunikasi sosial secara fisik. Keinginan menjadi “aku” bukanlah hal yang tabu dan susah untuk dilakukan oleh banyak kalangan. Menjadi idola masyarakat dengan predikat Fotografer Handal dapat diperoleh dengan biaya murah melalui akun jejaring sosial yang tersedia cukup banyak. Eksistensi diri ditentukan oleh kemampuan seseorang merespon dan mengangkat topik istimewa diseputar fotografi menjadi sebuah setatus. Arena memamerkan Karya Foto dapat dibentuk dalam sebuah fasilitas unggah Jejaring Sosial dan dapat dilakukan kapanpun. Foto dipergunakan juga sebagai bentuk perekam peristiwa untuk dijadikan alat pengukuhan opini yang ingin dibentuk. Keberhasilan menguasai pasar komunikasi jejaring sosial mampu menghadirkan idola-idola kecil dalam sub-Jejaring Sosial. Sang Fotografer Idola menjadi pujaan komunitas maya. Keberadaannya selalu dipantau oleh mereka yang mengidolakan, simpati atau bahkan sekedar basa-basi dalam komentar balik disebuah Forum Setatus dan Unggahan Foto untuk maksud tertentu. Keruwetan mulai muncul tatkala komentar berhamburan dengan pemaknaan yang kurang jelas seperti di atas. Basa-basi komentar yang akhirnya dapat mengaburkan pemaknaannya, berakibat pada melemahnya edukasi yang berkaitan dengan fotografi dimasyarakat. Meledaknya Arena Fotografi dengan pasokan perangkat perekam gambar di pasar tidak diimbangi dengan konten pengetahuan fotografi yang cukup. Fotografi akan berakhir hanya sebagai alat bantu Perekam gambar semata layaknya Scanner.
Beriring dengan majunya tehnologi, Perangkat Keras Fotografi semakin mudah digunakan dengan standar gambar yang dihasilkan cukup bagus. Produsen Kamera berlomba menawarkan berbagai macam fasilitas yang dimiliki Kamera untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Perang mega pixel hingga perang kepekaan sensor untuk menangkap gambar dalam situasi kurang cahaya dengan Noise rendah. Kemudahan dan tingginya kwalitas gambar ditawarkan dalam satu paket. Jargon “Fotografi itu mudah” menjadi hal yang lazim dan diamini oleh banyak orang. Semua orang dengan instan layak menyandang predikat fotografer. Ketika masa Fotografi Analog, seseorang untuk mendapatkan predikat fotografer tidak segampang sekarang ini. Kerumitan tehnik fotografi analog mengharuskan seseorang melewati masa pembelajaran yang cukup serius hanya untuk menghasilkan Foto dengan kwalitas gambar yang baik.
Sebuah Karya Fotografi akan menjadi tak bernilai, ketika daya dukung kemampuan tehnik kamera yang disandangnya mendominasi cukup tinggi. Semua orang dapat dengan mudah menekan tombol “P” atau program, menjadikan Kamera menjadi cerdas untuk mencitrakan gambar kedalam layar LCD yang ada. Sebuah kebetulan, ketika arah tangan dalam memegang kamera bergerak tanpa sengaja mengarah pada sebuah obyek yang memiliki susunan menarik. Dalam kondisi semacam ini peran Sang Fotografer untuk menciptakan foto yang baik sekan sirna. Kemungkinan, yang barang tentu dapat dilakukan dengan ketidaksengajaan oleh banyak orang. Sejak Gustav Le Gray mampu menyuguhkan kolase foto melalui media fotografi sederhana Daguerrotype pada tahun 1854 saat itulah menjadi tonggak penting dalam pencapaian karya fotografi melalui alur fikir kreatif. Peran alat foto hanya berhenti pada kemampuannya membantu melahirkan konsep visual secara kreatif. Alat
foto atau perekam gambar menjadi nomer dua setelah Ide kreatif itu sendiri. Daya dobrak Gustav Le Gray menghembuskan Ruh Kreativitas kedalam alat yang memiliki fungsi tehnik pada waktu itu sangat mencengangkan banyak kalangan. Selamat datang kreativitas, tanpa kreativitas untuk dapat melahirkan ide-ide menarik dalam proses “fotografi”, karya foto menjadi lemah nilai jual visualnya.
Kesewenangan Produsen Kamera dengan kemampuannya menggiring konsumen secara umum kedalam situasi keinginan berkamera. Berbagai iming-iming tehnologi mereka tawarkan. Strata sosial mereka ubah dengan kelas-kelas life style dimasyarakat atas kepemilikin Merk dan seri kamera. Keinginan yang kuat untuk berekpresi mereka dorong dengan pola konsumsi kamera online. Masyarakat harus bekerja lebih keras untuk ikut menyokong ekspansi produksi kamera dengan membeli kamera yang mereka tawarkan. Kebutuhan tertier merangsek kedalam kebutuhan mendekati primer untuk golongan masyarakat urban Ibu Kota. Kondisi semacam ini menjadi sangat merugikan, ketika tingkat konsumsi kamera begitu besar sedangan kwalitas pemakaian kamera dimasyarakat kurang diimbangi dengan pengetahuan yang memadai.
Investasi kamera digital dengan life cycle pendek sangat menguras kantong konsumen. Berbeda dengan era kamera analog yang memiliki life cycle penjang. Satu merek dan seri kamera dapat bertahan puluhan tahun tanpa mengalami keusangan. Konsumen kamera menjadi pihak yang lemah dan siap untuk dipermainkan dengan rayuan atas keinginan memiliki fitur kamera terbaru. Kondisi pekatnya pasar kamera di masyarakat secara tiba-tiba membuat belum siapnya penyebaran pengetahuan akan kamera itu sendiri. Merek elektronik yang sebelumnya bermain dipasar Elektronik Rumah tangga, sekarang ini ikut mensuplai produk kamera juga. Hampir semua Gadget dibarengi dengan fitur kamera dengan kemampuan yang selalu ditingkatkan.
Saat ini kalau kita perhatikan tingkat konsumsi kamera dalam sebuah rumah tangga cukup tinggi khususnya untuk masyarakat perkotaan, dan desa yang tumbuh dengan pengaruh kota. Berapa orang dalam sebuah rumah tangga yang memiliki Seluler berkamera, belum lagi yang berupa Tablet plus. Hampir setiap Rumah tangga memiliki kamera bersama untuk mengabadikan momen keluarga dalam bentuk Kompak Kamera hingga SLR Kamera. Kuncinya terletak pada tingkat kebutuhan yang tinggi, harga yang semakin lama relatif murah dan gampang diperoleh hingga gerai-gerai seluler di pojok kota. Semua serba menggiurkan dan menggairahkan untuk rela mengempeskan dompet.
Tumbuhnya sekolah, tempat pelatihan, kursus dan media informasi yang terkait dengan fotografi belum dapat menutup kebutuhan konsumen secara merata. Prosentase yang ada masih relatif kecil dibandingkan dengan pasar kamera yang terus meringsek konsumen secara kwalitatif. Kalangan tertentu yang masuk dalam kelas Penghobi serius akan dapat terserap dengan baik. Lantas bagaimana dengan prosentase terbesarnya yang menyebar di kelas non-serius.
Semangat yang ada dalam mengulik kemampuan alat masih berkutat pada permasalahan tehnik. Kepiawaian memecahkan permasalahan tehnik seakan menjadi kata final untuk menjamah fotografi secara advance. Deretan pertanyaan panjang di forum tak resmi jejaring sosial masih dihadapkan pada cara penggunaan kamera dengan benar. Aplaus menggema belum menyentuh permasalahan mendasar akan tumbuh kembangnya fotografi di ranah estetik. Pelatihan singkat yang ditawarkan masih menggunakan menu dasar yang sebenarnya belum mendasar. Kekuatan tehnik yang dianggap pemecah kebuntuan akan proses fotografi mengarahkan masyarakat sebagai operator kamera. Persis seperti tumbuhnya komputer di tanah air era 90-an, banyak sekali pelatihan yang menyuguhkan tata cara penggunaan komputer. Sementara itu percepatan tehnologi dapat memecahkan permasalahan tersebut dalam hitungan detik. Tingkat kerumitan dalam mengoperasikan sebuah alat tehnologi lambat laun menjadi sangat mudah. Anekdot yang muncul ketika seseorang sedang berfikir, alat tersebut telah melakukan apa yang difikirkannya. Begitujuga di ranah fotografi yang semakin lama semakin mudah dalam melakukan proses reproduksinya dalam menhasilkan gambar. Terkadang situasi semacam ini justru akan menguntungkan produsen kamera, ketika kita berfikir bahwa untuk menghasilkan gambar yang bagus dibutuhkan alat yang canggih. Fenomena semacam ini jelas sekali terlihat dalam aktifitas pemotretan yang diadakan oleh sebuah komunitas fotografi. Peserta pemotretan atau yang lazim disebut fotografer merasa percaya diri ketika di sekujur tubuhnya bergelantung kamera dengan harga fantastis.
Penyeragaman semangat estetik yang dihembuskan sekolah foto pada umumnya menjadi pola baku yang menjadi tolok ukur pelaku fotografi. Mulai dari detail yang paling kecil hingga cara menuangkan gagasan sekan menjadi template untuk semua pelaku fotografi. Cara ukur matematik antara salah dan benar bukan hal yang tabu dalam menilai karya foto yang seharusnya kaya akan filosofi estetik yang tak terukur. Komposisi hanya dipetakan dengan pembagian bidang tanpa diiringi oleh semangat pengaturan obyek yang memenuhi kaidah dasar estetika visual. Pengaturan warna diimplementasikan hanya untuk memenuhi trend yang sedang diminati. Permasalahan eksplorasi penciptaan bukan menjadi hal yang sangat penting ketika wacana pergulatan tehnik masih terus berlangsung. Semangat Gustav Le Gray hanya dapat diserap oleh segolongan elit Perupa Fotografi saja yang berdiri diatas menara gading. Fotografi dalam ranah estetik masih dalam proses wacana yang jauh dari proses pelaksanaan.
Atas kesadaran yang muncul dari wacana diatas, Sekelompok Anak muda yang tergabung dalam kelas Fotografi CA Binus, mencoba menyusuri lekuk kreatifitas menyususri celah imaginasi melalui ekperimentasi ide melalui media fotografi. Fotografi tidak hanya diperlakukan sebagai alat rekam visual semata layaknya alat bantu tanpa pemaknaan filosofis estetik. Kemampuannya dalam menggiring fotografi sebagai sebuah proses dalam menyalurkan onggokan ide, menjadi sangat menarik untuk disimak. Kumpulan karya yang bertajuk “Seven Dreams” Melambungkan angan kita kedalam ceruk sunyi dunia antah berantah dalam menangkap respon estetik. Seven Dreams diambil dari semangat mereka memasuki lorong angan yang terangkum dalam Tujuh Tema; Futuristik, Mother of Earth, Gothic, Bitchy, Lolipop, Rock n’ Roll, Local contens. Semangat eksploratif yang dihadirkan dalam Karya Foto Nindita dan Duhita mampu menceritakan sebuah proses panjang dalam bersenyawa melalui cahaya. Penggunaan Projector adalah sebuah alternatif pilihan yang mereka inginkan untuk lebih memahami nuansa warna-warni yang melumuri obyek. Kepekaannya memadukan antara cahaya yang bersifat continous dengan flash yang memiliki intensitas tak terbendung. Dalam satu sentuhan proses yang hampir menyerupai dapat menggarap dua tema sekaligus tanpa mengurangi pemahaman estetis yang ingin mereka capai. Kepekaan Sylvia dalam mengungkapkan nuansa mistik yang beraspirasi lokal mampu menghadirkan kesunyian mencekam. Ikon yang ditampilkan untuk mendukung karyanya tidak hanya sekedar elemen artifisial tetapi lebih jauh dari itu, yaitu mampu bertutur akan kearifan lokal dalam memandang kehidupan ala timur. Begitu juga Dalam karya Hamzah dengan seronok dan berani mengangkat kelokalan yang bersifat mistis yaitu pocong, dihadirkan dalam menu santapan visual yang cukup funky. Kengerian dan ketakutan akan sesosok hantu dapat ditepis. . Hal serupa kita dapat temui dalam karya Go Brain tetapi dengan pendekatan kultur yang berbeda.
Kegilaan seorang Mashyta dalam mengungkap tabir misteri seorang wanita. Sebuah karya foto yang sangat simbolik sarat akan pemaknaan. Kekuatan daya ungkap visual yang responsif memberikan nuansa berbeda dari sederetan karya yang terangkum dalam tajuk Seven Dreams tersebut. Lepas dari itu semua kita dapat melihat keliaran ide dalam beekplorasi, tetapi masih diiringi dengan ketaan akan kaidah fotografi baku. Kelayakan visual yang dihasilkan dalam proses tehnik menjadi keseimbangan dalam berolah rasa diranah fotografi. Kesewenangan atas ide terkadang menafikan apa yang disebut dengan kebijakansanaan visual. Bigitu juga sebaliknya, ketika kebekuan tehnik tak sanggup meraih kwalitas ide yang ditelorkan maka karya fotografi akan menjadi bisu dan mati.
Semangat dan daya dobrak ide melalui saluran kreativitas seharusnya sanggup memecahkan permasalahan pelik akan lajunya perkembangan tehnologi yang semakin tak terbendung. Nilai-nilai humanistik yang menyentuh pada permasalahan akal budi yang selalu berkreasi dan berinovasi kan dapat dengan mudah terselesaikan.
“Fotografi adalah semangat panjang dan konsisten dalam berkontemplasi kreatif untuk mewujudkan semangat humanistik bukan berproses layaknya mesin yang berbentuk kamera.”
Salam Kreatif !